Senin, 10 Maret 2014

Ilustrator dan Kegalauannya


Sebelum memulai membaca, marilah kita sepakati terlebih dahulu wahai para pembaca sekalian, bahwa tulisan yang ada dibawah ini, hanyalah pendapat dari seseorang, atau manusia, yang tidak mewakili profesi atau kelompok tertentu. Dimohon juga untuk para pembaca, agar tidak terlalu serius dan tidak terlalu percaya terhadap tulisan yang ada dibawah ini. Karna terlalu serius dapat menyebabkan stress, dan terlalu percaya dapat menyebabkan rasa fanatik berlebihan. Kalau sudah sepakat, silahkan dibaca, kalau belum sepakat, mohon dibaca lagi dari atas, pokoknya sampai sepakat.

Berdasarkan hasil observasi yang saya temukan, mulai dari buku, film dokumenter, jurnal, dan kesaksian dari anak SD tetangga sebelah, bahwasanya manusia itu dahulu kala adalah manusia purba. Mungkin para pembaca sudah mengetahui fakta mengejutkan ini, namun saya tidak. Saya hanya terkejut apabila dikagetin dari belakang. Nah, manusia purba ini pada saat itu, mulai dari remaja purba hingga remaja purbi (plesetan dari remaja putra dan remaja putri), kegiatannya adalah bertahan hidup. Berbeda dengan remaja masa kini, yang bertahan dengan hubungan sama mantan.

Karena berfokus pada bertahan hidup, manusia-manusia purba ini tidak sempat memikirkan hal lain. Jangankan jalan-jalan di mall, mau benerin atap aja tidak kepikiran, soalnya tinggal di goa. Lambat laun, manusia purba yang tadinya tinggal di goa mulai berani keluar dari zona nyamannya tersebut, atau disebut goa, dan kemudian menciptakan goa versi outdoor. Entah karna jumlah lahan goa yang semakin sempit, atau harga sewa goa semakin naik, namun langkah untuk keluar dari goa ini cukup tepat. Karna dari kejadian itu, kita dapat belajar, bahwa gerakan move on, sudah dimulai sejak manusia purba.

Kemudian muncul pertanyaan dikalangan orang awam, adakah bukti yang menunjukkan kalau manusia purba pernah tinggal di goa?

Tentu saja ada!

Para relawan dan ilmuwan berhasil membuktikannya dengan menemukan benda-benda serta peralatan di dalam goa yang dipakai oleh manusia purba pada zaman itu. Dan dari goa tersebut, ditemukan pula lukisan yang menggambarkan peristiwa saat itu. Saya tidak tahu motivasi dari manusia purba yang menggambar lukisan tersebut, namun saya yakin, manusia purba itu bisa menggambar. Mari kita fokus pada urusan manusia dan gambar menggambar, lupakan tentang goa dan manusia purba.

Pada dasarnya, semua manusia itu bisa menggambar. Saya yakin, semua manusia yang ada di bumi ini, pasti pernah menggambar, sama hal nya dengan pernah kentut. Semenjak pertama kali mengenal alat tulis, hal yang dilakukan pertama kali oleh seorang bayi adalah menggambar. Dan semenjak pertama kali kemasukan angin, hal yang dilakukan pertama kali oleh seorang bayi adalah kentut. Manusia purba yang belum pernah foto selfie aja bisa menggambar, apalagi yang pernah foto selfie pakai tongsis (tongkat narsis), seharusnya lebih bisa dong.

Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia berupa aplikasi yang ada di handphone saya, definisi dari gambar adalah tiruan barang (orang, binatang, tumbuhan, dsb) yang dibuat dengan coretan pensil dsb pada kertas dsb. Bayi yang dikasih alat tulis, kemudian corat-coret tidak jelas, sesungguhnya bayi itu sedang membuat tiruan barang (atau bahasa gaulnya gambar) yang diwujudkan sesuai dengan bayangan yang ada di kepala bayi itu sendiri. Dalam hal ini, yang saya maksudkan adalah bayi manusia loh ya, bukan bayi dari spesies lain.

Bukti lain yang memperkuat teori saya bahwa semua manusia pernah menggambar, adalah kemampuan manusia dalam menulis. Tulisan adalah sekumpulan huruf atau simbol yang disusun untuk mengkomunikasikan sesuatu. Menurut narasumber yang dapat saya percaya namun tidak untuk pembaca, huruf alfabet yang kita gunakan di Indonesia, berasal dari alpha dan beta. Alpha yang berarti kerbau, dan beta yang berarti rumah. Berdasarkan hal ini, saya dapat menyimpulkan, ketika kita menulis, yang kita lakukan sebenarnya adalah menggambar huruf, ya minimal nulis huruf ‘A’ dan huruf “B” yang berarti kita sedang menggambar kepala kerbau dan rumah. Entah bagaimana nasib huruf yang lainnya, semoga mereka tenang disana.

Jadi, ketika ada orang yang berkata,” aduh bro, aku nggak bisa bikin gambar ”, sesungguhnya itu adalah dusta. Orang itu sedang menyangkal kemampuan dasar semua umat manusia. Itu sama saja seperti menyangkal kalau dia tidak bisa kentut.

Mungkin tidak ada yang bertanya,” lah, kalo aku bisa bikin gambar, kenapa ada orang yang bilang kalo gambarku jelek? “, namun tetap akan saya jawab.

Meskipun semua manusia pada dasarnya bisa menggambar, sayangnya, tidak semua manusia bisa menggambarkan sesuatu sesuai dengan keinginan orang lain. Maka dari itu, muncullah profesi pelukis, illustrator, komikus, kartunis, desainer grafis dan lain sebagainya. Tanpa adanya orang-orang yang berprofesi seperti ini, mungkin dunia akan… tetap seperti biasa. Tapi ucapkan selamat tinggal kepada komik, cergam, karikatur, poster grafis, film kartun, lukisan, dan semuanya yang membutuhkan gambar yang bagus-bagus (sebut saja profesi grafis).

Khusus untuk negara Indonesia, kurang tahu dengan negara lain, profesi yang berhubungan dengan gambar atau grafis ini, masih kurang diperhatikan. Berkah menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang lain ini, bahkan tidak dianggap sebagai kemampuan khusus yang perlu dihargai lebih. Kebetulan saya, selaku penulis disini, diberikan kemampuan untuk menggambarkan sesuatu. Kurang lebih pengalaman saya seperti ini,

“wis, gambarin aku dong, kamu kan pinter gambar.” Kata temen saya dengan imutnya.

“ya bisa sih, tapi ada  honor nya nggak?”

“halah, kan cuma gambar doank, srat sret jadi, gambarin ya…”

Mendengar jawaban itu, hati saya berbisik, seandainya bikin gambar semudah kentut, maka saya bisa jadi penyumbang gambar terbesar di Asia pasifik rim. Sekali waktu pernah teman saya dengan wujud yang berbeda meminta gambar melalui sms,

“wis, aku mau kasih kado nih buat pacarku, gambarin karikatur dong, kamu bisa gambar karikatur kan?”

“bisa kok, ada honornya nggak?”

Teman saya berdiam cukup lama, hingga akhirnya membalas,”kamu mau dibayar berapa?”

Hati saya berbisik, orang ini sungguh mulia hatinya, mau menghargai jerih payah seseorang. Kemudian saya balas,”ya tarifnya untuk tiap kepala 100 ribu”.

Lagi-lagi teman saya cukup lama membalasnya,” nggak bisa turun ya? Yaudah deh minggu depan jadi ya!”

Begitu gambarnya jadi dan bayarannya diterima, saya tidak pernah dikontak lagi sama dia. Tali pertemanan seakan telah putus. Karya yang saya buat, telah dibayar dengan uang 100 ribu, dan pengorbanan relasi. Bisa dikatakan, situasi saya saat itu seperti tentara, membunuh atau dibunuh.

Ada pepatah yang mengatakan,”teman ya teman, bisnis ya bisnis”. Sayangnya untuk pengalaman saya sejauh ini, teman saya tidak menganggap apa yang saya lakukan ini sebagai bisnis. Saya jadi tahu bagaimana rasanya jadi pohon yang dimanfaatkan, bukan dilestarikan. Mungkin hanya pada saat jaman purba saja, menggambar itu tidak membutuhkan biaya dan pengorbanan relasi. Apakah saya harus kembali ke jaman purba, dan bikin gambar di goa? Jawabannya adalah tidak. Karna manusia purba tidak tahu apa yang namanya foto selfie. Memang tidak ada hubungannya, tetapi saya yakin setiap manusia ada masanya masing-masing.

Kembali lagi ke pokok permalas-salah-an, saya akan melupakan yang namanya honor, atau fee, atau bayaran, atau apalah itu namanya yang membuat hubungan antar manusia jadi awkward. Saya mencoba menghitung kemampuan rata-rata saya dalam membuat sebuah gambar yang layak dipublish. Rata-rata satu gambar membutuhkan waktu satu jam. Itu belum termasuk waktu yang dibutuhkan untuk memikirkan wujud gambar yang dibutuhkan. Kalau di analogikan, apabila satu indomi rebus membutuhkan waktu 3 menit, maka satu gambar membutuhkan waktu 20 indomi rebus. Bayangkan, 20 indomi rebus itu bisa untuk berapa hari? Itu baru perhitungan dari kemampuan menggambar saya, enggak tahu kalau mas Anang (ala Indonesian Idol).

Sebagai manusia, saya rasa sudah hakikatnya untuk saling menghargai sesama manusia lainnya. Menghargai pendapat, menghargai waktu, menghargai budaya, dan menghargai lainnya. Seandainya, memang belum sanggup untuk memberikan honor kepada orang yang mengerjakan grafis, berikanlah hal lain yang setimpal dengan kerjaan grafis itu. 20 indomi rebus misalnya.

Lagipula, orang yang membuat grafis, membutuhkan modal yang tidak sedikit, alias hampir banyak. Untuk seukuran orang seperti saya saja, yang notabene illustrator dan komikus abal-abal, membutuhkan laptop, listrik, pensil, drawing pen, scanner, internet, kertas, mouse, dan asupan gizi. Kalau saya sih segitu, enggak tahu kalau mas Anang (lagi-lagi ala Indonesian Idol). Seandainya, memang belum sanggup memberikan 20 indomi rebus, berikanlah barang-barang yang disebutkan tadi. Memang hidup tidak semudah ketika jaman manusia purba.

Apabila seandainya, benar-benar tidak sanggup untuk memberikan barang, atau memberikan honor, atau memberikan 20 indomi rebus, jangan terlalu khawatir. Ingat kembali teori saya diatas sebelumnya, bahwa semua manusia sesungguhnya bisa menggambar.

Sebenarnya saya tidak ingin curhat dan memaksakan kehendak, segalanya ada pada pilihan masing-masing. Saya hanya ingin agar para pembaca yang kebetulan juga memiliki teman atau kerabat yang memiliki kemampuan membuat gambar yang sesuai dengan keinginan orang lain, terbuka pikirannya dan mau lebih menghargai profesi grafis.

Berbaha-gila-lah karna tulisan ini telah berakhir dan mata para pembaca dapat beristirahat :)