Kamis, 30 Agustus 2012

Pameran Perdana, Seadanya, Tempat Yang Tak Biasa


Oke, postingan ini saya bikin, dengan sedikit membawa perasaan lega. Kenapa sedikit?? Karena masih banyak lega-lega yang belum keluar dari ganasnya tugas. Kenapa lega?? Karena hari Kamis, tanggal 30 Agustus 2012, adalah pertama kalinya saya melakukan sebuah pameran perdana secara live/langsung..

ya, pameran perdana secara langsung..

Secara tidak resmi dan ilegal, akun Facebook saya merupakan tempat dimana saya memamerkan dada…. Ah, maksudnya karya, secara gratis dan selamanya..

Secara resmi dan tetap ilegal, hari Kamis itu adalah pertama kalinya saya melakukan pameran yang nyata dalam kehidupan sehari hari.

Pada umumnya dan gaulnya, pameran itu diadain di gedung pameran, atau di ruangan nyaman, atau di mana aja, selain di toilet. Nah, saya ini justru pameran perdananya di toilet kampus, tepatnya di gedung tempat saya ngikutin kuliah, yaitu gedung Henricus Constant. Dengan demikian, saya pun layak di cap sebagai orang yang belum umum dan belum gaul.

Mungkin enggak ada yang bertanya kenapa saya ngadainnya di toilet, kenapa enggak di tempat yang elit dikit seperti galeri?? Berhubung saya narsis, tanpa ada yang bertanya, saya langsung jawab aja. Karena materi pameran yang saya tampilkan, berhubungan erat sama toilet, dan yang terpenting, saya malas berurusan dengan hal-hal birokrasi, seperti bikin surat ijin, bikin surat peminjaman tempat, bikin proposal, bikin laporan, dan bla bla bla..

Saya bukan tipikal orang yang formal, yang kalo mau nanya, udah ngupil apa belum, dengan pertanyaan,” hei saudara, apakah anda sudah melaksanakan pembersihan dalam hidung anda?”.

Saya bukan perencana yang baik, yang kalo mau ngupil aja harus mikir,”apakah dengan posisi tubuh tidur seperti ini, upil akan masuk hidung saya?”.

Saya juga bukan orang yang memperhatikan detail kecil, yang kalo mau ngupil pake jari aja harus bertapa,”apakah sehari sebelum ini saya ngupil pake jari telunjuk kanan, atau jari telunjuk kiri?”.

Saya ini orangnya gampang lupa, isi otaknya sederhana, begitu punya ide, harus segera dilaksamanakan, halah…
karena kalo enggak dilaksanakan segera, langsung lupa. Yang dikerjakan pun juga yang simpel aja, sederhana, tapi jelas adanya. Tahu Albert Einstein kan? Nah, otak saya itu kayak ujung rambutnya om Albert, susah dilihat, tapi ada.

Pameran perdana ini juga saya laksamanakan, halah.. laksanakan sendiri persiapannya. Mulai dari konsepnya, karyanya, ngeprintnya, duitnya, itu saya lakukan sendiri. Tapi, yang namanya jagoan, pasti dapat bantuan dari kawan kawan sejawat (bahasanya absurd). Pada proses penempelan karya, saya dapat bantuan tangan yang secara takdir menolong saya, yaitu tangan dari Rico si desainer kebanggaan Semarang, dan Depin si cantik tak berdaya. Mereka ini yang membantu saya motongin selotip dan nempelin selotip ke karya. Tanpa mereka, kalori yang terbakar dalam tubuh saya akan semakin banyak.

Seperti dalam kisah-kisah heroic di film drama, kisah pameran perdana ini pun juga penuh makna. Biasanya bangun jam 12 siang, kali ini bangunnya jam 6 pagi. Begitu bangun, langsung buka laptop, nyalain, edit gambar yang tersedia. Padahal biasanya bangun pagi gitu cuma ambil hape, ngecek sms dan twitter, trus tidur lagi.

Selesai ngedit, saya harus menghadapi dinginnya air, dan merelakan tubuh indah ini menjadi basah tak karuan. Gagal dengan sukses dalam meniru adegan sabun menyabun di iklan tv, saya langsung bergegas ambil handuk dan pakai baju. Abis itu berangkat ke tempat percetakan, untuk mencetak karya.

Sesampainya di tempat percetakan indoprint, saya harus mengantri dengan gagah berani. Sedikit mengipas karna panas, dan menghirup banyak udara untuk bernapas. Begitu giliran tiba, langsung deh ‘tas tes’ (buat yang tinggal di Semarang, istilah beginian sering digunakan, untuk memberikan efek cerita yang kelihatan cepat gitu). Selesai mencetak, masih ada masalah lagi, yang timbul karena memiliki nama yang amat sangat keren.

“mas, udah pernah ngeprint disini?” Tanya si petugas pria indoprint.
“udah mas.”
“namanya siapa ya mas?”
“Louis mas”
“oke” Seolah-olah mas nya ini yakin telah mengetik bener, padahal salah. Yang diketik malah ‘Lois”

“anu mas, namanya salah itu, pake ‘u’ mas..”
“ohh, pake ‘u’ ya, oke..” sekali lagi seolah-olah mas nya yakin telah mengetik dengan bener, padahal tetep salah. Yang diketik malah ‘Luis’.

“eh, mas, anu, ‘u’-nya ditengah.”
“oh, oke oke..” lagi lagi, seolah olah mas nya yakin telah mengetik dengan bener, padahal salah, tambah parah, yang diketik malah ‘Lous”

“mas mas, bukan gitu, bacanya lllooooo…uuuuuu…iiiii…sssss, el, o, u, i, s” sambil masang tampang guru TK yang bersahaja.
“oalah, iya mas..” kali ini bener.

Proses percetakan selesai, lanjut proses berikutnya, yaitu pemotongan karya sesuai yang ditentukan. Sebelum masuk rumah, saya berhenti sebentar di tempat fotokopian depan gang rumah. Di tempat itulah saya percayakan proses pemotongan.

“mas, tolong dipotong ya mas, sesuai ukuran karyanya, pokoknya bagian putihnya ilangin aja.” Begitulah amanat yang saya berikan kepada mas-mas fotokopian. Setelah memberikan amanat, saya pulang dan isi perut dulu sambil bercanda gurau sebentar sama orang rumah. Mengetahui lelucon yang saya lontarkan enggak lucu, langsung deh berangkat ke tempat fotokopian.

“eh mas, ini masih ada putih-putihnya, diilangin sekalian bisa enggak mas??” sambil nunjuk karya saya yang masih terdapat pinggiran putih.
“bisa sih mas, tapi… lama nih mas, ditinggal aja gimana??” begitu kata mas nya, sambil aba-aba megangin mangkok berisi sesuatu.

“kalo sekarang enggak bisa mas?? Saya bantu deh, kerjain berdua, biar cepet, gimana??” teknik negosiasi tinggi dimana kita sedikit berkorban, ini termasuk teknik tingkat sarjana nih. Namun jawabannya mas nya adalah….

“yaudah, mas nya kerjain aja, malah gratis, enggak bayar..” begitu jawabnya, sambil meringis. Habis itu mas nya bawa mangkok tadi kebelakang, duduk, terus makan. Sementara saya, motongin karya sendirian.. negosiasi gagal..

Dengan tetap tersenyum (dalam hati) dan motongin karya, setidaknya orang-orang yang juga ada di fotokopian itu bisa ngeliat karyanya. Yaa, itung itung promosi gratis. Ditengah-tengah motongin kertas, tiba-tiba muncul sesosok mas mas misterius yang sebenarnya dari tadi sudah ngeliat liat karyanya.

“mas, ini ngeprint kertas apa mas?”
“hah? Itu yang tebel namanya ivory mas..” sambil menjawab, sambil menjatuhkan keringat.
“berapa mas?”
“oh, itu saya bikin sendiri mas karyanya..”
“bukan mas, ini ngeprint gini berapa habisnya?”
“hah? Oh, itu selembar a3 sekitar… eee…. 5 ribu mas.” Sebenarnya saya senang kalo ada yang Tanya-tanya, jadi keliatan pinter gitu, tapi situasinya lagi kerja keras, jadi saya enggak sempet bercanda gurau sama sosok mas mas asing itu.

Proses pemotongan selesai, langsung pergi tanpa basa basi. Mampir sebentar ke Indomaret buat beli minum, sambil berpose sok nikmat ngerasain dinginnya ac. Sampai kampus, langsung deh parkir motor. Di sana lah saya bertemu Depin si cantik tak berdaya ini yang ditakdirkan membantu pameran perdana saya. Secara resmi, dia turut ambil bagian dalam proses pemasangan karya. Datang pula si Rico yang secara tak terduga datang ke kampus, dan terseret arus untuk ikut berurus..

Sekali lagi saya ucapkan, terima kasih Depin, Rico, dan… Tong Fang…






Pameran ini saya buka mulai dari hari KAMIS, 30 AGUSTUS 2012, dan akan berjalan selama seminggu.
Lokasi nya ada di TOILET  cewek dan cowok, kampus UNIKA, gedung HENRICUS CONSTANT B, lantai 3 dan 4.
Mengingat adanya unsur legal dalam pameran ini, maka, marilah kita berharap, enggak ada yang nyopot karyanya…

ini dokumentasinya ada di link fb (aslinya males aplod satu satu, alhasil, nggak diaplod satu satu)
dokumentasi foto





Jumat, 24 Agustus 2012

Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut


Setiap manusia, setiap umat manusia, entah itu berusia 3 tahun atau 399 tahun (kalo ada), pasti pernah yang namanya buang “air”. Disini yang dimaksud “air” adalah sesuatu yang menyerupai coklat meleleh, atau batu buat “nguleg” (bahasa Indonesia yang menurut saya mendekati sih ya menumbuk). Bagi yang pernah membaca novel Harry Potter si penyihir, mari kita sebut “air” ini sebagai “dia yang namanya tak boleh disebut”.

Menurut versinya, ada dua jenis buang “dia yang namanya tak boleh disebut”, yang pertama versi yang kecil, yang bisa dilakukan dengan cepat bagi pria, dan cukup lambat bagi wanita. Jenis ini masih dapat ditoleransi keberadaannya, karena tidak membutuhkan waktu yang lama. Kedua adalah versi yang besar. Versi kedua ini memakan waktu yang cukup untuk membuat kita mati gaya. Selain waktu, juga dibutuhkan tenaga besar dalam ritualnya. Dalam situasi tertentu, versi kedua ini akan sangat merepotkan, sangat sangat sangat merepotkan.

Ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” pada kehidupan manusia modern ini harus dilakukan di tempat yang tersedia. Mereka yang melanggar tata cara tak tertulis dari ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” bisa kena sanksi sosial. Misalnya, ritual dilakukan di tempat umum, orang-orang umum pasti akan menggunakan tatapan jijik setengah mati, kalo orang tidak umum, bakalan mengabadikan momen itu trus di aplod ke jejaring sosial deh.

Dan, ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” juga harus dilakukan pada saat momen yang tepat serta akurat. Penyalahgunaan momen untuk melakukan ritual juga dapat dikenakan sanksi sosial. Sedikit curhat nih ya, dulu saya pernah melakukan ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” pada saat momen yang tidak tepat. Waktu itu saya SMP, dan sedang menimbun “dia yang namanya tak boleh disebut” dalam perut saya. Karena kepepet, saya pun membuangnya ditempat yang sesuai. Akan tetapi sodara-sodara, salah satu temen saya ada yang memergoki aksi tersebut. Kebetulan yang saya laksanakan adalah versi yang besar. Dengan segera, teman saya itu nyiramin saya pake air secara random, trus lari ke kelas secepat atlit olimpiade, dan membuat pengumuman via audio, kira-kira begini bunyinya,

”Louis ******* !!! Louis ******* mambu (bau) !!”

Sekembalinya saya ke kelas, teman teman yang lain memasang wajah ketawa, dan jijik tentunya. Butuh waktu berhari-hari untuk memulihkan reputasi setelah peristiwa itu.

Nah, dalam melakukan ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut”, ada tempat khusus yang disediakan, yang biasa disebut dengan ….WC !!, atau TOILET !!, atau KAMAR MANDI !!...

Kebanyakan orang memandang WC sebagai tempat yang jorok, tidak higienis, tak elegan. Namun semua prasangka buruk tadi sebenarnya muncul karena manusianya sendiri. WC menjadi kotor itu karena tingkah laku manusianya yang tidak ikut menjaga kebersihan, tidak peduli, dan suka melakukan ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” tanpa dibersihkan dengan baik dan benar sesuai undang undang yang berlaku.

Coba lihat WC umum yang ada dimanapun dia berada, kebanyakan pada bau tidak sedap, jorok, jauh dari kata sempurna. Ada juga WC yang baunya wangi, bersih, meski tetap jauh dari kata sempurna, karna kesempurnaan hanya milik Tuhan. Saya sendiri jarang menemukan WC yang bersih dan wangi. Kalopun ada, ya di tempat-tempat berkelas seperti mall, hotel, restoran kelas 7, dan kelas kelas lainnya.

Seharusnya semua orang yang konon memiliki akal, tahu bahwa menyiram setelah buang “dia yang namanya tak boleh disebut” itu penting, sama pentingnya dengan ganti celana dalam sebanyak dua kali sehari. Setidaknya dengan mengetahui dan melakukan satu hal tadi, WC yang ada di dunia nyata ini bisa sedikit tercerahkan masa depannya.

Buat yang termotivasi oleh WC yang jorok untuk melakukan hal yang jorok juga, segeralah sadar, bahwa anda adalah manusia, kok bisa termotivasi sama WC?? Segeralah bertobat dan berobat, niscaya, WC bisa terselamatkan dari dampak ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” yang tidak tepat.

Mari kita budayakan ritual buang “dia yang namanya tak boleh disebut” yang tepat, sehingga WC kita tidak jorok dan tidak memotivasi orang lain untuk jorok juga.

mari….


Minggu, 05 Agustus 2012

'Kepo' Calon Gubernur


Maraknya pemberitaan di media seputar pemilihan calon gubernur Jakarta, membuat saya berpikir, saya kan bukan orang orang Jakarta??

Oke, meskipun saya bukan orang Jakarta, tapi boleh lah ‘kepo’ dikit tentang salah satu calonnya yang juga walikota dari Solo. Tidak lain tidak bukan, sebut saja, pak Jokowi !!
Yeah!!!

Melalui pengamatan singkat ala kadarnya oleh seorang mahasiswa tanggung amatiran, dalam kasus ini yaitu saya, pak Jokowi ini adalah kandidat calon pemimpin yang sangat berkompeten. Coba lihat bagaimana kota Solo sekarang ini??  Kalo lihatnya dari peta, mungkin nggak keliatan, tapi coba kalo liatnya dari buku atlas…. Tetep nggak keliatan juga kayaknya. Jadi mending datang langsung ke kota nya, kemudian foto pake instagram, tweet tentang itu, update status, dan tidak disarankan untuk foto alay apalagi joget joget kayak penontonnya acara dahsyat.

Disaat walikota yang lain mengijinkan pembangunan mall sehingga menambah kaum alay, pak Jokowi malah membangun pasar. Disaat walikota yang lain punya satpol PP berbadan hulk dengan jurus kasar, pak Jokowi punya kepala satpol PP yang anggun dengan jurus pendekatan sosial. Disaat saya nggak punya badan yang kotak-kotak, pak Jokowi sudah berkotak-kotak….. bajunya.

Sejauh ini, berbagai sepak terjang sepak bola pak Jokowi yang saya dengar, telah dilakukan pada saat beliau memang menjabat sebagai walikota, bukan pada saat masa kampanye. Sejujurnya saya tidak tahu apa aja yang diutarakan oleh pak Jokowi pada saat kampanye. Tetapi saya tahu beliau telah bekerja sebagaimana mestinya seorang walikota yang baik dan benar menurut bersama, bukan menurut uang atau unsur intrinsik lainnya.

Bandingkan dengan calon calon lain yang mainstream, yang cuma melakukan tindakan baik hanya pada saat masa kampanye doank. Tapi setelah masa kampanye selesai, semua tindakan baik tadi hilang. Calon calon yang seperti itu tadi sebenarnya berkelakuan baik cuma untuk demi, ibarat kata, cari muka. Benar-benar tidak konsisten kelakuannya. Mendingan juga saya, tiap hari kelakuannya enggak baik, tapi konsisten dan terus menerus. (jangan dicontoh, cukup dibaca).

Yakin deh, calon calon yang cari muka dan uang muka itu, kerjaannya pasti banyak yang nggak keliatan. Sekalinya keliatan, tujuannya ya cari muka. Orang yang bertindak untuk cari muka dan yang untuk kepentingan bersama itu keliatan banget.

Yang cari muka itu contohnya misalnya dalam sebuah mall, ini misalnya loh ya, jangan dianggap serius. Misalnya di mall itu ada seorang mr. F, dateng ke sebuah toko sepatu ber merk dengan pendapatan tertinggi di mall. Mr. F ini nyobain sepatu di toko itu, terus langsung beli. Kebetulan disitu ada beberapa wartawan yang meliput si mr. F yang terkenal, ceritanya wartawan dari planet mars. Nah, mr. F ini abis beli sepatu, berkata kepada penjaga tokonya yang bertubuh kecil pendek,

“wahai engkau rakyatku yang tampan tinggi nian, aku berikan engkau uang ini, karena aku baik hati..” Sambil ngasih uang tunai berpuluh juta.

Penjaga toko bertubuh kecil pendek itu hanya diam tanpa kata, seolah jenuh, tanpanya. Kemudian mr. F melanjutkan,

“wahai para wartawan dari planet mars, sebarkan berita ini, jangan lupa, cantumkan ‘mr. F si baik hati’…”

Mungkin terdengar agak lebay ceritanya, namun apabila terjadi kesamaan, jangan disama-sama kan, takutnya enggak sama. Dari cerita diatas, bisa dibayangkan betapa cari muka si mr. F ini. Bayangin, ngapain juga ngasih duit berpuluh juta ke sebuah toko ber merk?? Apa coba motivasinya?? Aneh kan?? Saya yang bikin ceritanya aja jadi turun kadar IQ nya.

Kembali ke cerita seputar pak Jokowi, awalnya saya sedih, karena beliau menjadi calon pemimpin Jakarta. Kenapa yang baik dan yang terbaik selalu pergi ke ibu kota Indonesia?? Tidak habis pikir, tidak adil rasanya. Dengan makan buah apel, saya berharap jadi cerdas hingga kembali berpikir positif.

Pikiran positif saya menjelaskan, keberhasilan pak Jokowi ini memang sudah jelas. Kalau Solo bisa sedemikian majunya, bayangkan bila permasalahan Jakarta dapat dituntaskan? Seandainya Jakarta bisa diselesaikan oleh beliau, akan ada banyak kemungkinan hal tersebut dipublikasikan oleh media, dan menginspirasi kota lain untuk ikut bertindak juga. Kalau sudah begini, maka peranan Pak Jokowi sudah hampir setara dengan presiden, hampir…

Berhubung saya bukan warga Jakarta, saya berharap pak Jokowi yang menjadi pemimpin untuk Jakarta selanjutnya. Saran saya untuk para pemilih, pilihlah dengan cerdas. Apabila ada pasangan calon yang melakukan kampanye dengan menyebar hadiah, terimalah, tetapi janganlah dipilih.

salam dari seorang mahasiswa amatiran yang cukup sok tahu… :V

NB: ‘kepo’ adalah sebuah istilah yang saya sendiri tidak tahu asal muasalnya, yang memiliki arti yaitu sebuah rasa ingin tahu seseorang akan sesuatu yang berlebihan.