Selasa, 23 April 2013

Oii, Adiknya Hendrik


                
Masa Orientasi Siswa, singkatan dari MOS, adalah 3 hari awal di SMP, dimana kakak kelas melancarkan aksi untuk membuat murid baru menjadi kerepotan, dan jujur aja sangat membosankan. Berpetualang di lingkungan sekolah, mencari kelas yang dituju, dan mendapatkan tanda tangan dari target yang ditentukan. Kemudian disuruh bawa barang-barang aneh gak jelas tujuannya, yang endingnya tu barang jadi sampah. Dalam bahasa yang sederhana, MOS itu intinya adalah pengenalan sekolah kepada murid baru (dan tujuan membawa barang-barang aneh pun masih tetap misteri abadi).

                Alkisah pas misi mencari tanda tangan anggota OSIS, bersama teman-teman  yang baru dimasukkan dalam daftar “best pal”, kita semua berkeliling sekolah, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah, bersamudera, bersama teman, semuanya...
Mulai dari komplek anak kelas 2 A sampai kelas 3 G, semua dijelajahi. Kebetulan kakakku yang bernama Heinrich (dalam bahasa Indonesia menjadi Hendrik) juga berguru di SMP 21. Dan ketika berada di komplek kelas 3, muncullah sesosok dua sosok tiga sosok, yang berkata, “oi, ada adiknya Hendrik!!”. Bisa ditebak, suara itu muncul dari penggemarku.

                Kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” ternyata masih tetap berlangsung bahkan sampai MOS berakhir. Aku pun sempat menambah MOS menjadi seminggu, namun kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” tidak sirna jua. Tiap lewat komplek anak kelas 3, atau bertemu dengan anak kelas 3 di kantin, atau bahkan berpapasan dengan anak kelas 3 di wc saat menerima panggilan power ranger, kata-kata itu tetap terlontar sejauh 5 meter panjangnya.

                Karena masalah ini, namaku menjadi lenyap ditelan kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” dikalangan anak kelas 3, dimana seharusnya aku dipanggil ”oi, ada si tampan!!”. Hal ini juga membuat nama kakakku semakin melambung tinggi di angkasa, sementara aku semakin ditelan dan dikunyah.

                Otakku yang tadinya bermalas-malasan sekarang mulai berputar lagi. Selain mikirin buat pelajaran, aku juga mikirin, bagaimana caranya menghilangkan budaya panggilan seperti itu. Beberapa ide buat mencari nama pun muncul, seperti membajak kantin, mengebom wc, meneror ruang kepala sekolah, dan lain-lain. Tapi hanya satu yang memungkinkan, yaitu mengubah gaya rambut !!!

Sebuah cara mengubah style diri dengan menata rambut sedemikian rupa menyerupai artis tak dikenal. Terinspirasi dengan gaya rambut temanku, Firman, yang juga seperti rambutnya Tintin, yaitu bergaya jambul. Dengan mengobrak abrik bagian poni, dan menatanya keatas bagai tanduk macan (pada adegan ini, tampak jelas jidatku yang lebar terbang ke angkasa).  Setelah 40 hari 40 malam berpuasa, akhirnya tatanan rambut ala Tintin beraksi, bagai gorilla di daun talas. Dengan langkah tegap maju jalan, bersama teman-teman sehati dan sejiwa, melewati kawasan anak kelas 3. Beberapa teman kakakku ada yang mengawasi dengan seksama dan tersilaukan oleh kemilau cahaya jidatku yang lebarnya minta ampun, dan kemudian seperti orang yang melihat cahaya keabadian, mereka berkata,”oi, ada adiknya Hendrik!!”.
Misi pun gagal dan kasus ditutup.

                Otakku kembali berpikir,sebenarnya ada apa gerangan yang menyebabkan adanya panggilan seperti itu. Apakah karna nama Louis kurang populer atau nama Hendrik lebih populer, hanya Tuhan yang tahu. Setelah mencari dan berpikir dengan seksama, akhirnya lampu neon menyala. Bukan masalah nama mana yang populer, tetapi karena keberadaan kakakku yang populer. Bahkan keberadaanku menjadi dikenal karena kakakku, walaupun dengan sebutan, “adiknya Hendrik”. Dan sepertinya tidak ada masalah dengan sebutan itu, setidaknya teman dan guruku tidak menyebut begitu, tetapi dengan sebutan “si bodoh”.

                Kelak suatu saat di masa mendatang, dimanapun aku berada, baik di wc ketika menerima panggilan power ranger, atau mungkin di kamar mandi ketika menerima panggilan alam, kalau ada temennya Hendrik, pasti aku dipanggil,”oi, adiknya Hendrik!!”