Tokoh utama biasanya mengalami apa yang namanya “happy ending”, dan itulah yang kualami, walau mungkin aku bukan tokoh utama (setidaknya jadi pemeran pembantu). U.A.S yang menyebalkan telah dilewati, dan dengan sukses aku dapet surat tanda kelulusan lengkap dengan cap 3 jariku tertera di surat itu tepat pada foto 3x4 yang kaku ala foto ktp.
Sekitar 99% murid SMP 21 lulus, dan 1 % nya mengalami nasib yang tidak beruntung. Seorang siswi asal papua dengan ras jawa lah yang mengalami nasib tidak beruntung itu. Denger-denger dari rumor yang beredar, siswi itu emang agak freak orangnya, kadang kalo jalan suka senyum sendiri, kalo ngajak ngomong biasanya topik pembicaraannya yang benar-benar aneh dan tak terduga. Misalnya, “eh, kamu pake celana dalam apa hari ini?? Pasti sama kayak celana dalamku ya?? Tukeran yuk??”. Aneh kan??
Setelah ritual kelulusan yang menyenangkan, kemudian dilanjutkan dengan sesi liburan yang tak kalah menyenangkan juga. Menurut aturan tak tertulis, liburan kali ini harusnya dikonsentrasikan kepada masalah pencarian senior high school. Tapi who care, bersenang-senang adalah tujuan utama hidupku, jadi dari pada sibuk nyari sekolahan, mending maen ayunan di taman sambil ngemut permen lolipop bentuk kipas angin, pasti fun banget. Hingga akhirnya aku tersadar, aku harus nyari sekolahan layaknya anak-anak manusia.
Berdasarkan hasil investigasi tim rahasia, sekolah yang unggul kala itu adalah SMA 3, dengan prestasinya yang luar biasa, mengalahkan sekolah luar biasa. SMA Loyola, dengan kebutuhan iuran paling tinggi alias mahal(khusus buat yang mampu). SMA 1, buat yang pengen gahol (konon katanya murid naek mobil adalah hal biasa), dan sederet SMA laennya yang tidak diketahui oleh tim investigasi rahasia.
Aku pun mulai mempertimbangkan hasil laporan para keroco-keroco itu tadi. Sekali lagi roda gerigi di otakku mulai berputar. Sarang laba-laba berbentuk istana pun hancur seketika seiring berputarnya roda gerigi, sedangkan sang laba-laba malah asik jogging di roda gerigi, kemudian mampir di warung bubur ayam pak No, sembari menikmati es teh kopi buatan home industri. Begitulah kehidupan keluarga laba-laba sang penjual kerupuk ikan.
Berhubung otakku sudah tidak bisa diandalkan, aku pun mulai memakai insting. Sekolah manakah yang dekat? Sekolah manakah yang kualitasnya gak jelek-jelek amat? Sekolah manakah yang memiliki resiko paling rendah dalam hal senioritas? Sekolah manakah yang memiliki kantin dimana kita bisa ngutang di kantin itu? Lalu pilihan jatuh kepada... SMA 4 !!!
Bersama teman-teman setanah air, aku mendaftar ke SMA 4. Kebetulan SMA 4 bersebelahan persis dengan SMP 21, jadi aku tinggal lompat tembok aja, nyampe deh di SMA 4, deket banget dah. Reputasi sekolah ini pun juga nggak jelek-jelek amat, siswinya nggak ada yang jadi bintang film porno setingkat Miyabi. Masalah senioritas? No problem, sekali lagi aku satu sekolahan sama Hendrik (kakak kedua). Jadi kalo aku di bullying sama kakak kelas, tinggal panggil, ”kakak kedua!!”. Kalo dipalakin sama kakak kelas, tinggal panggil, ”kakak kedua!!”. Kalo cintaku ditolak sama kakak kelas tinggal panggil, ”kakak kedua!!”. Sayangnya di sekolah ini nggak bisa ngutang di kantin, jadi kalo lagi nggak ada duit, tinggal panggil,”kakak kedua!!”.
Kedua orang tua ku sempet nggak setuju kalo aku milih SMA 4 sebagai senior high school-ku, apa lagi junior high school. Aku disuruh daftar di SMA 3 yang lebih elit dikit.
”kok malah daftar di SMA 4?? SMA 3 aja, kan lebih bagus.”
”bagusan SMA 4 kok, liat aja taun ini, SMA 4 lulus 100%, SMA 3 ada yang gak lulus, kan bagusan SMA 4.” sambil nunjukin hasil prosentase perhitungan lembaga pendidikan.
Dan setelah berdebat cukup panjang, akhirnya aku mengatakan sebuah fakta yang cukup mengagetkan, ”SMA 3 kan jauh, ntar kalo aku telat gimana? Udah itu transportasinya pasti juga mahal”. Mendengar kata mahal, ibuku sepertinya langsung skakmat. Perdebatan kali ini berhasil ku menangkan. SMA 4 pun jatuh ketanganku sebagai kandidat senior high school terpilih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar