Seperti biasanya pelajaran berlangsung sangat membosankan. Guru berkoar-koar didepan kelas, sementara murid mati-matian ngobrol di tempat duduk masing-masing. Aku pun seperti biasa, berpura-pura memperhatikan pelajaran, sementara rohku meninggalkan tubuhku dan bermain-main mengelilingi angkasa liar. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada ngelamun di kelas. Padahal udah kelas 3, udah waktunya serius menghadapi ujian akhir sekolah, sebuah ujian dimana kelak aku akan memakai celana panjang pas sekolah, dan celanaku boleh lebih panjang dari lutut.
Sementara guru masih berkoar-koar, sebuah panggilan kepada seseorang bernama Louis membuat kelas hening sejenak dan terpusat pada adik kelas yang memanggil namaku. Bisa diliat anak itu adalah anggota OSIS (terlihat dari penampilannya yang rapi, kaos kakinya yang hampir selutut, roknya yang nutupin seluruh paha). Jarang-jarang dapet panggilan dari OSIS, biasanya juga dari guru karena urusan uang sekolah, atau masalah rambut gondrong. Pas keluar kelas, ternyata ada satu anak yang wajahnya tak asing, Ivan namanya. Kelas 2 SMP sempet satu kelas, jadi kita kenal.
Kami pun berjalan bersama-sama beriring-iringan dengan langkah ¾ menuju ke ruang OSIS. Uda ada beberapa adik kelas anak OSIS di dalam ruangan itu. Aku pun langsung dijelasin apa gerangan tujuan dari panggilan itu. Entah apa aja yang dijelasin, pada intinya, mereka mau bikin acara pensi (pentas seni) perdana. Ide ini cukup langka karna datangnya juga dari kalangan anak SMP (dan lebih langka juga kalo datangnya dari para lansia). Kebetulan waktu itu aku sama Ivan memiliki skill gambar yang kalah hebat sama Leonardo Dicaprio, jadi kami kebagian tugas dekorasi.
Seiring berjalannya waktu, waktu pun berjalan mengiringi rapat. Proposal, artis yang akan diundang, denah panggung, semuanya uda dipersiapkan. Dengan segala persiapan yang udah ada, waktunya pelaksanaan. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya aku jadi panitia dalam sebuah acara, dan betapa senangnya (senangnya hatiku.. turun panas dan demam..lalalalala). Apa pun kulakuin demi menjaga prestasi dan nama baik serta martabat keluarga. Mulai dari ngerelain waktu pelajaran buat rapat (dengan senang hati kulakukan), sampai gak ngerjain PR gara-gara mikirin acara.
Selain anak-anak kelas 2 yang jadi panitia, ada juga yang dari kelas 3.dalam misi pencarian sponsor misalnya, muncul tokoh bernama Faris, yang waktu itu satu-satunya anak yang bisa nyetir mobil, dan dia sangat diandalkan dalam mengantarkan keroco-keroco. Lalu ada Netta, mantan ketua OSIS yang bisa dibilang pandai berbicara. Dalam penyebaran proposal, dibutuhkan juga seorang navigator, yaitu Tio. Kemudian satu lagi aku lupa siapa (sepertinya Kiki, murid pindahan sewaktu di kelas 2). Entah bagaimana ceritanya, aku ikut dalam tim sponsor ini. Aku bingung skill apa yang bisa kugunakan (mulai dari ngupil, ngelamun, ngaplo, semuanya nggak bisa digunakan). Yang jelas tugasku hanya “watch n learn”.
Betapa susahnya nyari sponsor, nyebar proposal sana-sini harus mengulangi kalimat yang diucapkan. Apalagi buat anak SMP, kata “SMP” dan “pensi” sangatlah bertolak belakang. Jadi bisa dibilang mustahil. Tapi kalo tidak dicoba,kita gak akan tau gimana rasanya (kayak makan apel, darimana kita tau kalo apel yang kita makan rasanya apel, bukan rasa stroberi atau jeruk?? Apakah apel rasanya beda dengan stroberi atau jeruk?? Apa apel yang kita makan terbuat dari bahan stroberi dan jeruk?? Kalau nggak dicoba, kita nggak akan tahu kalo apel itu apel)
Malam hari tidak kalah merepotkan dari siang hari. Aku harus jauh-jauh pergi ke rumah temenku, buat nyiapin dekorasi. Duit dalam dompet pun juga harus melayang demi membeli bahan-bahan dekor (dan untungnya bahan dekor cuma pake sterofoam). Belum lagi kalo ada bahan yang ketinggalan di ruang OSIS. Beberapa anak ingusan dengan modal cutter kudu ke ruang OSIS malem-malem, menghadapi berbagai macam hantu bo’ongan, rintangan rintangan dari penjaga sekolah, bisikan-bisikan gaib dan tidak kalah menakutkan juga, rasa lapar di malam hari.
Proses pelaksanaan sudah nyaris sempurna, pensi pun didepan mata. Hingga datanglah sebuah panggilan lagi ke ruang OSIS, panggilan rapat pensi yang terakhir kalinya. Beberapa anak di ruang OSIS udah siap buat dengerin berita ter-update. Aku juga nyiapin kupingku buat dengerin apa yang bakal disampai kan oleh ketua panitianya. Dengan hati-hati melepaskan kata-kata (intinya adalah), pada intinya,
”pada intinya adalah..”
”hei ketua, langsung pada intinya aja..”
”ya, ini baru mau disampaikan intinya.”
”ya ketua, pada intinya aja..”
”iya tenang, pada intinya..”
”ini intinya kan??”
”ya, intinya adalah, kepala sekolah nggak mau nanda tanganin suratnya, kita nggak dapat ijin dari kepala sekolah, saya juga uda sempet nangis di ruang kepala sekolah, tapi tetep aja nggak disetujuin.”
”baiklah ketua, lalu pada intinya apa?”
”intinya pensi kita batal”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar