Awal mula ngelihat Hitler, aku enggak yakin kalo orang ini adalah salah satu diktator paling terkemuka di dunia. Banyak orang yang takut dengan kekejamannya dan juga pasukan “nazi”-nya . Bayi aja mungkin waktu itu langsung nangis begitu mendengar kata “nazi”. Beda sama orang Indonesia jaman sekarang. Aku sempet lihat coretan di tembok, ada lambang “nazi” yang ditambahin imbuhan -onal, jadi kalo dibaca, jadinya “nazional”. Sungguh kreatif dan pemberani tuh street artist nya.
Kembali kepada Hitler, gaya rambut yang khas dan kumisnya yang pas, kadang mengingatkan kita pada wajahnya Jojon, si pelawak. Tapi dalam kehidupan SMA-ku, ada satu guru yang entah kenapa, aura dan wajahnya itu mirip sama Hitler. Beliau bernama pak Michael (sedikit lupa nama aslinya, jadi anggap aja ini nama samaran) si guru matematika. Walaupun kumisnya enggak begitu mirip dan enggak bisa bahasa Jerman, namun kekejamannya bisa terasa dari tatapan matanya.
Kombinasi guru killer, dan mata pelajaran killer, adalah kombinasi paling mematikan pada masa itu. Kombinasi ini juga yang bikin aku semakin males sama pelajaran matematika. Padahal sebelumnya tanpa ada kombinasi ini pun, aku udah males.
Setiap ada pelajaran matematika, aku berharap supaya bisa bertahan dan enggak kentut sembarangan di tengah pelajaran. Satu jam terasa 1 tahun lebih 5 bulan. Seandainya aku adalah pakar matematika, potongan rambut pak Michael aku bikin botak, terus kumisnya dicukur abis, sampe ke akar-akarnya.
Untungnya enggak selamanya aku diajarin sama pak Michael selama 2 semester. Ada kalanya guru yang magang hadir, apalagi gurunya itu perempuan. Suasana mistis bisa berubah jadi romantis.
Selama diajarin sama guru magang itu, jantungku bisa sedikit istirahat. Aku juga enggak perlu nahan kentut selama 1 jam pelajaran matematika. Yaah, walaupun kadang-kadang pak Michael ikut masuk ke kelas, terus ngawasin dari belakang. But,,, who care??!!
Seiring berjalannya waktu, kemampuan matematik ku berangsur membaik. Yang tadinya harus nahan kentut, sekarang cuma perlu nahan sakit perut. Berharap supaya guru magang ini selamanya ngajar di kelas ku.
Ternyata Tuhan menjawab harapanku.. !!!! tapi bukan cuma harapanku yang dijawab, tapi juga harapan anak-anak cerdas di kelas yang pengen diajarin sama guru yang lebih berpengalaman. Berhubung anak-anak cerdasnya lebih banyak, maka harapanku pun jadi sirna.
Tidak ada lagi guru magang, dan pak Michael kembali datang. Pelajaran matematika kembali suram. Rasa kentut kembali tak beraturan.
Ekspresiku waktu itu kayak ekspresinya teletubbies yang habis nonton video kiriman para pemirsa. Jam dinding kembali berjalan lambat, serasa adegan lari dari ujung gunung ke ujung gedung yang di slow motion pada film horror.
Tentunya aku enggak mau tampil biasa aja di depan pak Michael. Kali ini aku harus menjadi siswa yang pemberani. Kalau biasanya aku cuma diem aja tiap gurunya tanya, maka kali ini, aku harus jawab, meskipun nanti pertanyaan yang muncul adalah ”apakah saya tampan?”, aku tetep harus menjawab.
Ketika itu, pak Michael ngasih amanat untuk mengerjakan soal matematika di LKS (lembar kerja siswa) yang membutuhkan pemikiran pakar biologi dan pakar sastra. Soal itu langsung aku kerjain tanpa memikirkan konsekuensi kepada otakku yang sebelumnya jarang dipakai.
Waktu pengerjaan soal habis, tiba saatnya untuk mengetahui kebenaran dari misteri matematika.
”soal nomor satu, jawabannya apa??” tanya pak Michael.
semua anak-anak pun serempak menjawab. Jawabannya beda sama punyaku. Dengan ini bisa diketahui siapa yang pintar dan siapa yang bodoh.
”soal nomor dua??” kembali pak Michael bertanya.
dan begitu seterusnya, guru bertanya, siswa menjawab, guru bertanya siswa menjawab. Pada putaran entah yang keberapa, aku memberanikan diri untuk menjawab duluan.
”C pak !!”
suasana kelas hening, tidak ada suara satu pun. Tatapan pak Michael yang tadinya menuju ke LKS, sekarang menuju ke arah ku. Aku gak yakin beliau adalah seorang homo, karena tatapannya bukan mengatakan,”nak, kau tampan”, tapi mengatakan,”nak, kau boleh mati hari ini”.
Tatapan mataku membalas pak Michael. Bola mataku mendadak menjadi kotak. Dengan suara lantang ala diktator terkemuka, beliau berkata, sambil menunjuk,
”KAMU JANGAN JAWAB SEMBARANGAN YA !!!”
.........
...
Untuk selanjutnya, aku bersumpah, enggak akan pernah lagi menjawab pertanyaan pak Michael, ever....