Buat mereka penggemar manga Naruto karangan Masashi Kisimoto, pasti tahu tentang klan Uchiha. Diceritakan bahwa klan tersebut memiliki kekuatan mata ajaib, yang mampu meniru gerakan lawan dan juga menghipnotis lawannya hanya dengan melihat. Hanya dengan satu lirikan saja, lawan akan terasa terhipnotis hingga berminggu-minggu. Padahal kalo diliat dari luar, cuma satu detik doank. Kemampuan klan Uchiha ini mengingatkanku dengan kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih berstatus kelas 1 SMA.
Pemain 1, seorang bocah bernama Ian, yang kerap juga dipanggil “Gusdur”, adalah sosok yang bisa dibilang “pemberani”. Namun karna sifatnya ini, entah kenapa para manusia terkadang merasa jengkel dan pengen nggebukin si Ian ato hanya sekedar menghina. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sifat “pemberani” bisa bikin orang jadi jengkel?? Pemberani disini artinya berani bicara, urusan pembuktian belakangan. Sebenarnya ada sisi positifnya juga, dia jadi bocah yang lebih percaya diri.
Pemain 2, seorang anak muda yang berada satu kelas dengan Ian, dia adalah Louis (a.k.a gue), adalah sosok yang bisa dikatakan kurang jantan dalam hal yang seharusnya jantan tetapi ternyata gak ahli dibidang jantan tersebut. Sifatnya yang pragmatis alias selalu mencari aman, membuatnya menjadi lebih jarang menghadapi konflik. Namun sisi positifnya ya itu tadi, pinter nyari tempat aman.
Proporsi tubuh Ian saat itu tergolong normal, gak tinggi-tinggi amat, gak pendek-pendek amat. Kalo si Louis tergolongnya tinggi (mungkin). Tetapi masalah otot, mungkin menang Ian.
Cukup sekian pengenalan tokoh, sekarang adalah setting tempat. Sebuah ruangan kelas yang cukup luas untuk sebuah pertarungan, tetapi tidak cukup luas buat maen bola. Terbukti pernah dimarahin guru gara-gara maen bola kertas di dalam kelas. Waktu yang dipilih yaitu pagi menjelang siang hari, tepatnya disela-sela istirahat pelajaran.
Kronologis...
Alkisah si Ian duduk dekat dengan si Louis. Entah apa yang melatarbelakangi keinginan untuk memulai konflik, yang jelas Louis mulai mukul-mukul si Ian. Sifat “pemberani” si Ian menyebabkan dia berkata,”apaan tuh, mukul kayak cewek.” Perkataan ini menumbuhkan salah satu naluri dasar manusia, yaitu bertarung. Pukulan bertubi-tubi dilayangkan kebadan Ian hingga 100X COMBO.
Sebenarnya kalo Ian bilang,”aduh sakit..” mungkin aku akan menghentikan pukulan. Tapi ternyata dia malah bilang,”enggak sakit sama sekali tuh..” lengkap dengan senyuman kecilnya. Naluri bertarung yang ada semakin bertumbuh, dan kemudian aku melancarkan serangan tinju maut CRITICAL.
Normalnya ketika orang menerima serangan CRITICAL itu, langsung berkata ,”waduh, sakit tauk!!” atau langsung membalas. Si Ian malah tetep berani berkata,”enggak ada apa-apanya tuh.” Mukaku yang tadinya jengkel, sekarang semakin jengkel, dan kembali melayangkan satu tinju CRITICAL lagi.
Serangan terakhir akhirnya menggugah hati Ian untuk bertindak. Dia pun berdiri dengan gagah sambil mengganti wajahnya ke mode yang lebih seram. ”WOI, ngapain mukulin aku mulu, sakit tauk!!” Aku langsung memasang tampang sok ramah sambil berkata,”tadi katanya gak sakit..”
Entah karna kehabisan kata-kata atau gimana, si Ian cuma diem aja sambil melototin wajahku. Aku pun ikut-ikutan ngeliatin matanya. Di sela-sela situasi tegang ini, temen-temen yang lain malah nyorakin supaya langsung berantem, beberapa dari mereka memang haus darah kayaknya. Malah ada yang mengabadikannya dengan kamera hape. Mereka berpose imut sementara mataku dan mata Ian masih bersatu.
Saat itulah terjadi pertarungan dalam alam bawah sadar. Orang-orang yang ngeliat cuma ngerasa beberapa detik, sementara pikiranku dan Ian bertarung selama berhari-hari. Pertarungan menggunakan jurus mata ajaib ini berlangsung cukup lama. Kalo divisualkan, bakal keliatan pertarungan sengit antara aku sama Ian.
Tinju halilintar dilancarkan tepat kewajahku. Aku menghindar dengan gerakan lemah gemulai cacing pita. Nyaris beberapa cm dari wajahku. Kemudian aku melakukan serangan balasan dengan melancarkan serangan COMBO paket 5. Dari seratus serangan, cuma 1 yang kena. Dengan cepatnya tanganku langsung dipegang dan aku dibanting kesana kemari. Kekuatan Ian memang tiada tandingannya. Aku pun dapat dilempar jauh dengan mudahnya sampe membentur tembok.
Aku berdiri dan mengambil serpihan dari tembok, lalu kulemparkan bertubi-tubi kearah Ian. Dengan mudahnya dia berlari sambil menghindari seranganku. Lalu ia melompat kearahku, melakukan tinju batu bata. Wajahku pun bengkak kemerah-merahan seperti batu bata. Darah bercucuran dari idungku, bercampur dengan upil yang menggumpal.
Kuambil upil itu tadi, lalu kulemparkan ke muka Ian. Saking gedenya upil dan juga saking deket jarak antara aku sama Ian, serangan menjadi tak terelakkan. Serangan upil membuat Ian menjadi shock sementara. Aku ambil kesempatan itu untuk melancarkan serangan akhir, tinju CRITICAL ..
DUAKH!!
Saat itu juga aku kembali ke dunia nyata, temen-temen yang lain masih pada bersorak sorai bergembira. Mata Ian tetap tertuju padaku. Tangannya mengisyaratkan tanda-tanda buat mukul. Melihat bahasa tubuh sedemikian rupa, aku langsung ngomong,”cepet pukul, cepet..” Tetapi tangan Ian tetap pada posisi siaga.
Salah seorang temenku ada yang melihat kedatangan guru yang waktu itu bakal ngisi pelajaran selanjutnya. Pertandingan pun diakhiri. Aku diamankan sementara Ian di jauhkan dari pandanganku. Sifat ”pemberani” yang dia miliki bikin dia tetep pengen berantem, padahal aku udah mulai berakting seolah-olah tidak ada gedung WTC yang terbang.
Tiba-tiba setetes air mata jatuh dari mata Ian. Ya, dia nangis rupanya. Sang guru pun akhirnya menyadari ada sesuatu yang enggak beres. Aku tetep berakting pura-pura gak tau apa-apa, namun tangisan Ian bikin situasi semakin gawat. Pak Guru pun bertanya, sedang apa gerangan.
”pak, ada yang berantem pak.” jawab salah satu temenku sambil nunjuk aku sama Ian.
Dengan bijaknya pak Guru berkata,” apabila anda saudara sekalian mengahadapi konflik antar sesama umat manusia, janganlah engkau berdendam hati, karena, barang siapa yang berdendam hati, maka ia akan menyesal dikemudian hari.”
Pada intinya pak Guru cuma ngomong,” sudah jangan berantem, saling maafan, kalian kan cowok, harus berani minta maaf..”
Pak Guru langsung menggiring tangan Ian kearahku supaya berdamai sambil mengucapkan kata ajaib, ”maaf”. Aku pun menyambut tangannya dan meminta maaf. Satu kelas langsung kembali bersorak sorai bergembira menyambut perdamaian.
Pelajaran menggambar pun dimulai seolah-olah tidak terjadi pelemparan sepatu kearah muka seperti yang dialami George Bush. Ditengah-tengah pelajaran, si Ian malah menghampiriku dan berkata,” abis ini pulang sekolah dilapangan berdua.” Dalam otak aku berpikir, ni anak, mau ngajak berantem lagi atau mau menyatakan cinta dan mengatakan bahwa dirinya homo?? Aku cuma berkata,”kamu loh yang ngajakin.”
Pak Guru ternyata menyadari kejadian ini lagi dan berkata,” wahai engkau umat manusia yang terkasih, janganlah engkau berdendam hati, karena, barang siapa yang berdendam hati, maka ia akan menyesal dikemudian hari.” yang pada intinya cuma bilang,” sudah, sudah, tadikan sudah maafan.”