Sebelum memulai membaca, marilah kita sepakati terlebih
dahulu wahai para pembaca sekalian, bahwa tulisan yang ada dibawah ini,
hanyalah pendapat dari seseorang, atau manusia, yang tidak mewakili profesi
atau kelompok tertentu. Dimohon juga untuk para pembaca, agar tidak terlalu
serius dan tidak terlalu percaya terhadap tulisan yang ada dibawah ini. Karna
terlalu serius dapat menyebabkan stress, dan terlalu percaya dapat menyebabkan
rasa fanatik berlebihan. Kalau sudah sepakat, silahkan dibaca, kalau belum
sepakat, mohon dibaca lagi dari atas, pokoknya sampai sepakat.
Berdasarkan hasil observasi yang saya temukan, mulai dari
buku, film dokumenter, jurnal, dan kesaksian dari anak SD tetangga sebelah,
bahwasanya manusia itu dahulu kala adalah manusia purba. Mungkin para pembaca
sudah mengetahui fakta mengejutkan ini, namun saya tidak. Saya hanya terkejut
apabila dikagetin dari belakang. Nah, manusia purba ini pada saat itu, mulai
dari remaja purba hingga remaja purbi (plesetan dari remaja putra dan remaja putri),
kegiatannya adalah bertahan hidup. Berbeda dengan remaja masa kini, yang
bertahan dengan hubungan sama mantan.
Karena berfokus pada bertahan hidup, manusia-manusia purba
ini tidak sempat memikirkan hal lain. Jangankan jalan-jalan di mall, mau
benerin atap aja tidak kepikiran, soalnya tinggal di goa. Lambat laun, manusia
purba yang tadinya tinggal di goa mulai berani keluar dari zona nyamannya
tersebut, atau disebut goa, dan kemudian menciptakan goa versi outdoor. Entah
karna jumlah lahan goa yang semakin sempit, atau harga sewa goa semakin naik,
namun langkah untuk keluar dari goa ini cukup tepat. Karna dari kejadian itu,
kita dapat belajar, bahwa gerakan move on, sudah dimulai sejak manusia purba.
Kemudian muncul pertanyaan dikalangan orang awam, adakah
bukti yang menunjukkan kalau manusia purba pernah tinggal di goa?
Tentu saja ada!
Para relawan dan ilmuwan berhasil membuktikannya dengan
menemukan benda-benda serta peralatan di dalam goa yang dipakai oleh manusia
purba pada zaman itu. Dan dari goa tersebut, ditemukan pula lukisan yang
menggambarkan peristiwa saat itu. Saya tidak tahu motivasi dari manusia purba
yang menggambar lukisan tersebut, namun saya yakin, manusia purba itu bisa
menggambar. Mari kita fokus pada urusan manusia dan gambar menggambar, lupakan
tentang goa dan manusia purba.
Pada dasarnya, semua manusia itu bisa menggambar. Saya
yakin, semua manusia yang ada di bumi ini, pasti pernah menggambar, sama hal
nya dengan pernah kentut. Semenjak pertama kali mengenal alat tulis, hal yang
dilakukan pertama kali oleh seorang bayi adalah menggambar. Dan semenjak
pertama kali kemasukan angin, hal yang dilakukan pertama kali oleh seorang bayi
adalah kentut. Manusia purba yang belum pernah foto selfie aja bisa menggambar,
apalagi yang pernah foto selfie pakai tongsis (tongkat narsis), seharusnya
lebih bisa dong.
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia berupa aplikasi
yang ada di handphone saya, definisi dari gambar adalah tiruan barang (orang,
binatang, tumbuhan, dsb) yang dibuat dengan coretan pensil dsb pada kertas dsb.
Bayi yang dikasih alat tulis, kemudian corat-coret tidak jelas, sesungguhnya
bayi itu sedang membuat tiruan barang (atau bahasa gaulnya gambar) yang
diwujudkan sesuai dengan bayangan yang ada di kepala bayi itu sendiri. Dalam
hal ini, yang saya maksudkan adalah bayi manusia loh ya, bukan bayi dari
spesies lain.
Bukti lain yang memperkuat teori saya bahwa semua manusia
pernah menggambar, adalah kemampuan manusia dalam menulis. Tulisan adalah
sekumpulan huruf atau simbol yang disusun untuk mengkomunikasikan sesuatu.
Menurut narasumber yang dapat saya percaya namun tidak untuk pembaca, huruf
alfabet yang kita gunakan di Indonesia, berasal dari alpha dan beta. Alpha yang
berarti kerbau, dan beta yang berarti rumah. Berdasarkan hal ini, saya dapat
menyimpulkan, ketika kita menulis, yang kita lakukan sebenarnya adalah
menggambar huruf, ya minimal nulis huruf ‘A’ dan huruf “B” yang berarti kita
sedang menggambar kepala kerbau dan rumah. Entah bagaimana nasib huruf yang
lainnya, semoga mereka tenang disana.
Jadi, ketika ada orang yang berkata,” aduh bro, aku nggak
bisa bikin gambar ”, sesungguhnya itu adalah dusta. Orang itu sedang menyangkal
kemampuan dasar semua umat manusia. Itu sama saja seperti menyangkal kalau dia
tidak bisa kentut.
Mungkin tidak ada yang bertanya,” lah, kalo aku bisa bikin
gambar, kenapa ada orang yang bilang kalo gambarku jelek? “, namun tetap akan
saya jawab.
Meskipun semua manusia pada dasarnya bisa menggambar,
sayangnya, tidak semua manusia bisa menggambarkan sesuatu sesuai dengan
keinginan orang lain. Maka dari itu, muncullah profesi pelukis, illustrator,
komikus, kartunis, desainer grafis dan lain sebagainya. Tanpa adanya
orang-orang yang berprofesi seperti ini, mungkin dunia akan… tetap seperti
biasa. Tapi ucapkan selamat tinggal kepada komik, cergam, karikatur, poster
grafis, film kartun, lukisan, dan semuanya yang membutuhkan gambar yang
bagus-bagus (sebut saja profesi grafis).
Khusus untuk negara Indonesia, kurang tahu dengan negara
lain, profesi yang berhubungan dengan gambar atau grafis ini, masih kurang
diperhatikan. Berkah menggambarkan sesuatu yang sesuai dengan keinginan orang
lain ini, bahkan tidak dianggap sebagai kemampuan khusus yang perlu dihargai
lebih. Kebetulan saya, selaku penulis disini, diberikan kemampuan untuk
menggambarkan sesuatu. Kurang lebih pengalaman saya seperti ini,
“wis, gambarin aku dong, kamu kan pinter gambar.” Kata temen
saya dengan imutnya.
“ya bisa sih, tapi ada
honor nya nggak?”
“halah, kan cuma gambar doank, srat sret jadi, gambarin ya…”
Mendengar jawaban itu, hati saya berbisik, seandainya bikin
gambar semudah kentut, maka saya bisa jadi penyumbang gambar terbesar di Asia
pasifik rim. Sekali waktu pernah teman saya dengan wujud yang berbeda meminta
gambar melalui sms,
“wis, aku mau kasih kado nih buat pacarku, gambarin
karikatur dong, kamu bisa gambar karikatur kan?”
“bisa kok, ada honornya nggak?”
Teman saya berdiam cukup lama, hingga akhirnya
membalas,”kamu mau dibayar berapa?”
Hati saya berbisik, orang ini sungguh mulia hatinya, mau
menghargai jerih payah seseorang. Kemudian saya balas,”ya tarifnya untuk tiap
kepala 100 ribu”.
Lagi-lagi teman saya cukup lama membalasnya,” nggak bisa
turun ya? Yaudah deh minggu depan jadi ya!”
Begitu gambarnya jadi dan bayarannya diterima, saya tidak
pernah dikontak lagi sama dia. Tali pertemanan seakan telah putus. Karya yang
saya buat, telah dibayar dengan uang 100 ribu, dan pengorbanan relasi. Bisa
dikatakan, situasi saya saat itu seperti tentara, membunuh atau dibunuh.
Ada pepatah yang mengatakan,”teman ya teman, bisnis ya
bisnis”. Sayangnya untuk pengalaman saya sejauh ini, teman saya tidak
menganggap apa yang saya lakukan ini sebagai bisnis. Saya jadi tahu bagaimana
rasanya jadi pohon yang dimanfaatkan, bukan dilestarikan. Mungkin hanya pada
saat jaman purba saja, menggambar itu tidak membutuhkan biaya dan pengorbanan
relasi. Apakah saya harus kembali ke jaman purba, dan bikin gambar di goa?
Jawabannya adalah tidak. Karna manusia purba tidak tahu apa yang namanya foto
selfie. Memang tidak ada hubungannya, tetapi saya yakin setiap manusia ada
masanya masing-masing.
Kembali lagi ke pokok permalas-salah-an, saya akan melupakan
yang namanya honor, atau fee, atau bayaran, atau apalah itu namanya yang
membuat hubungan antar manusia jadi awkward. Saya mencoba menghitung kemampuan
rata-rata saya dalam membuat sebuah gambar yang layak dipublish. Rata-rata satu
gambar membutuhkan waktu satu jam. Itu belum termasuk waktu yang dibutuhkan
untuk memikirkan wujud gambar yang dibutuhkan. Kalau di analogikan, apabila
satu indomi rebus membutuhkan waktu 3 menit, maka satu gambar membutuhkan waktu
20 indomi rebus. Bayangkan, 20 indomi rebus itu bisa untuk berapa hari? Itu
baru perhitungan dari kemampuan menggambar saya, enggak tahu kalau mas Anang
(ala Indonesian Idol).
Sebagai manusia, saya rasa sudah hakikatnya untuk saling
menghargai sesama manusia lainnya. Menghargai pendapat, menghargai waktu,
menghargai budaya, dan menghargai lainnya. Seandainya, memang belum sanggup
untuk memberikan honor kepada orang yang mengerjakan grafis, berikanlah hal
lain yang setimpal dengan kerjaan grafis itu. 20 indomi rebus misalnya.
Lagipula, orang yang membuat grafis, membutuhkan modal yang
tidak sedikit, alias hampir banyak. Untuk seukuran orang seperti saya saja,
yang notabene illustrator dan komikus abal-abal, membutuhkan laptop, listrik,
pensil, drawing pen, scanner, internet, kertas, mouse, dan asupan gizi. Kalau
saya sih segitu, enggak tahu kalau mas Anang (lagi-lagi ala Indonesian Idol).
Seandainya, memang belum sanggup memberikan 20 indomi rebus, berikanlah
barang-barang yang disebutkan tadi. Memang hidup tidak semudah ketika jaman
manusia purba.
Apabila seandainya, benar-benar tidak sanggup untuk
memberikan barang, atau memberikan honor, atau memberikan 20 indomi rebus,
jangan terlalu khawatir. Ingat kembali teori saya diatas sebelumnya, bahwa
semua manusia sesungguhnya bisa menggambar.
Sebenarnya saya tidak ingin curhat dan memaksakan kehendak,
segalanya ada pada pilihan masing-masing. Saya hanya ingin agar para pembaca
yang kebetulan juga memiliki teman atau kerabat yang memiliki kemampuan membuat
gambar yang sesuai dengan keinginan orang lain, terbuka pikirannya dan mau
lebih menghargai profesi grafis.
Berbaha-gila-lah karna tulisan ini telah berakhir dan mata
para pembaca dapat beristirahat :)