Karna baru pertama kalinya merasakan lulus SD (karna SD cuma sekali aja), aku yang waktu itu masih kecil imut imut mengenaskan, benar-benar belum punya gambaran akan melanjutkan hidupku ini dengan cara seperti apa. Sementara beberapa temanku udah ada yang mulai mendaftar di SMP-SMP terdekat, bahkan sebelum perang akhir dengan ujian dimulai. Aku pun sadar langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya pada level ini,, mendaftar SMP juga..
Entah bagaimana ceritanya dan bagaimana alurnya, aku mendaftarkan diriku di SMP 21 dan SMP Yohanes. Berkali-kali aku berpikir apa gerangan visi dan misi ku hingga daftar kesana? Apa sebab dan akibat bila aku daftar kesana? Apa latar belakang dan tujuanku daftar kesana? Apa yang terjadi bila aku daftar kesana? Berapa banyak yang kehilangan kesempatan sekolah kalo aku daftar kesana? Berapa jarak yang harus ku tempuh kalo aku daftar kesana? Berapa banyak bakso yang bisa ku beli kalo daftar kesana?
Pertama mendaftar ke SMP Yohanes dulu. Beberapa temen SD ku juga ada yang muncul disana ikutan daftar. Tahap demi tahap dilewati, seperti ngumpulin ijazah dengan foto bergambarkan tampang bodoh terpampang disana, ngisi formulir dengan sejujur-jujurnya, mengumpulkan formulir dengan sopan santun menggunakan tangan kanan yang baik dan benar, serta lain-lain. Yang paling aneh adalah pada saat tahap wawancara (kebetulan ini pertama kalinya diwawancara).
”kamu punya televisi?” tanya sang pewawancara.
”punya pak.”
”ada berapa dirumah?”
Sempat berpikir sejenak,apakah aku harus berkata jujur ato berbohong?? Kalo berbohong kan dosa, tapi kalo gak bohong, informasi penting bakal ketahuan. Akhirnya mau tidak mau karna dosa ku juga sudah banyak, aku jawab apa adanya.
”televisi cuma satu pak dirumah.” Padahal kenyataanya lebih dari satu.
”kalau kulkas punya?”
”punya pak.”
”berapa?”
”kulkas cuma satu pak.” kali ini aku jujur, jadi skor sementara 1 -1.
”kalau motor punya tidak?”
”punya pak.”
”ada berapa?”
Kembali aku berpikir lagi sejenak,apakah harus jujur atau bohong?? Berhubung tadi sudah berbohong, mau nggak mau aku jawab,
”cuma satu pak.” dan dengan ini dosa ku bertambah 1 lagi.
Untuk sesi wawancara saja aku sudah menambah beberapa dosa, bayangkan dengan kehidupan nyata, pastinya dosaku lebih banyak.
Yang kedua, daftar ke SMP 21. Sebelumnya dikasih dua pilihan, SMP 21 ato SMP 12, tapi apa bedanya, sama-sama sekolah negeri, cuma angkanya aja yang dibolak-balik. Aku pun belum ada bayangan seperti apa rasanya bersekolah di sekolah negeri, sebelumnya hanya sekolah swasta aja yang berhasil ku jamah. Namun sepertinya hanya orang kelas menengah kebawah yang mendaftar disini. Anak-anak yang datang bersama orang tuanya terlihat berpenampilan sederhana dan bersahaja, beda dengan sekolah swasta, yang daftar biasanya tampak elegan. Sementara di sekolah swasta selalu ada orang cina, tapi di sekolah negeri, jangankan orang cina, yang matanya sipit aja langka. Tapi kelak orang-orang pribumi berpenampilan sederhana dan bersahaja itulah yang menjadi teman seperjuanganku nanti selama 3 tahun. Dan semoga ada orang yang mampu mengajariku bahasa Jawa.
Hari-hari setelah mendaftar hawanya tegang menunggu pengumuman lebih lanjut.
Apakah ada yang mau menerima murid paling berdosa sejagad ini? Sekolah manakah yang mau menerima? Seandainya tidak ada yang mau menerima, mungkin aku akan belajar secara otodidak membuat komik yang baik dan benar. Atau mungkin aku akan ikutan casting jadi pemain sinetron di tipi. Atau mungkin juga aku akan naik mesin waktu ke masa depan dan mencari tahu, di SMP mana aku bersekolah, jadi nanti tinggal daftar di SMP itu (pemikiran yang jenius tapi bodoh).
Pada kenyataanya, kedua SMP itu mau menerimaku, dan senangnya bukan kepalang karna aku nggak jadi naik mesin waktu ke masa depan. Ternyata kemampuanku sungguh hebat, mampu menaklukan dua sekolah seorang diri. Namun justru timbul masalah baru, manakah yang harus kupilih?
Hawanya kembali tegang karna aku harus segera menentukan pilihan sebelum waktu habis dan bom meledak. Apakah kabel biru ato kabel merah yang harus digunting? Berhari-hari memikirkan ini, tiba-tiba ibuku muncul dan berkata,
”pilih SMP 21 saja.”
Mengingat sebelumnya ibuku selalu menempatkanku di sekolah swasta, namun kenapa tiba-tiba memilih sekolah negeri. Oleh sebab itu aku bertanya,
”loh, emang kenapa bu?”
Kemudian ibuku menatap dengan sungguh-sungguh dan berkata,
”SMP Yohanes itu uang pembangunannya mahal, lebih murah SMP 21..”
(postingan ini pindahan dari blog sebelumnya)